Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.
Dimasa lalu jangkauan pertukaran pengalaman gerakan koperasi dibatasi oleh blok politik/ekonomi, sehingga orang berbicara koperasi sering dengan pengertian berbeda. Meskipun hingga tahun 1960-an konsep gerakan koperasi belum mendapat kesepakatan secara internasional, namun dengan lahirnya Revolusi ILO-127 tahun 1966 maka dasar pengembangan koperasi mulai digunakan dengan tekanan pada saat itu adalah memanfaatkan model koperasi sebagai wahana promosi kesejahteraan masyarakat, terutama kaum pekerja yang ketika itu kental dengan sebutan kaum buruh. Sehingga syarat yang ditekankan bagi keanggotaan koperasi adalah “Kemampuan untuk memanfaatkan jasa koperasi”. Dalam hal ini resolusi tersebut telah mendorong tumbuhnya program-program pengembangan koperasi yang lebih sistematis dan digalang secara internasional.
Catatan awal : “Dari sini dapat ditarik catatan bahwa koperasi
berkembang dengan keterbukaan, sehingga liberalisasi perdagangan bukan musuh koperasi”.
Di kawasan Asia Pasifik hal serupa ini juga
terjadi sehingga pada tahun 1990 diadakan Konferensi Pertama Para
Menteri-Menteri yang bertanggung jawab dibidang koperasi di Sydney,
Australia.
Pertemuan ini adalah kejadian kali pertama untuk menjembatani
aspirasi gerakan koperasi yang dimotori oleh ICA-Regional Office of The
Asian dan Pacific dengan pemerintah. Pertemuan ini telah melicinkan
jalan bagi
komunikasi dua arah dan menjadi pertemuan regional yang reguler
setelah Konferensi ke II di Jakarta pada tahun 1992. Pesan Jakarta yang
terpenting adalah hubungan pemerintah dan gerakan koperasi terjadi
karena
kesamaan tujuan antara negara dan gerakan koperasi, namun harus
diingat program bersama tidak harus mematikan inisiatif dan kemurnian
koperasi. Pesan kedua adalah kerjasama antara koperasi dan swasta
(secara khusus
disebut penjualan saham kepada koperasi) boleh dilakukan sepanjang
tidak menimbulkan erosi pada prinsip dan nilai dasar koperasi.
Pengalaman Koperasi Di Indonesia
Di Indonesia pengenalan koperasi memang
dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan
Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri
mendeklarasikan
sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947
melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita
lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara
alami di jaman
penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan
kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan
atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana
harus
mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut
sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola
pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi
“regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri
utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan
kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral
seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD;
(ii) Lembaga-lembaga
pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional
lainnya
(iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam
koperasi
karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang
berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Selama ini “koperasi” dikembangkan dengan
dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi
yang memberikan lapangan kerja
terbesar bagi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD
sebagai koperasi program
di sektor pertanian didukung dengan program pembangunan
untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada
beras seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik
pembangunan
koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program
yang kurang berhasil ditangani langsung
oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit
BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain
sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi
harus
memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya
praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para
peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional
Indonesia
mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi
secara terbatas seperti disektor pertanian (Sharma, 1992).
Pengalaman Umum Kemajuan Koperasi : Mencari Determinan
Sejarah kelahiran koperasi di dunia yang
melahirkan model-model keberhasilan umumnya berangkat dari tiga kutub
besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti yang terjadi di
Perancis
dan Belanda kemudian produsen yang berkembang pesat di daratan
Amerika maupun di Eropa juga cukup maju. Namun ketika koperasi-koperasi
tersebut akhirnya mencapai kemajuan dapat dijelaskan bahwa pendapatan
anggota
yang digambarkan oleh masyarakat pada umumnya telah melewati garis
kemiskinan. Contoh pada saat Revolusi Industri pendapatan/anggota di
Inggris sudah berada pada sekitar US$ 500,- atau di Denmark pada saat
revolusi
pendidikan dimulai pendapatan per kapita di Denmark berada pada
kisaran US$ 350,-. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan
belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen mampu
menunjang
kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan
keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume
penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana
hal ini
ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan
ekonomi anggota.
Syarat 1 : "Skala usaha koperasi harus layak secara ekonomi".
Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui
koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh
berbagai kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi
yakni
"Credit Agricole" di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin
bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara
menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di
Amerika Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi
umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun
konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah "potensial
customer-member" dari koperasi kredit.
Syarat
2 : "Harus memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan
masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi platform
dasar menumbuhkan koperasi".
Di manapun baik di negara berkembang maupun di
negara maju kita selalu disuguhkan contoh koperasi yang berhasil, namun
ada kesamaan universal yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi
produsen susu, selalu menjadi contoh sukses dimana-mana. Secara
spesial terdapat contoh yang lain
seperti produsen gandum di daratan Australia, produsen kedele di
Amerika
Utara dan Selatan hingga petani tebu di India yang menyamai kartel
produsen. Keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar
maupun kecil, di negara maju dan berkembang nampaknya terletak pada
keserasian
struktur pasar dengan kehadiran koperasi, dengan demikian koperasi
terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi
ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi
yang teratur
dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat
kukuh.
Syarat 3 : "Posisi koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi
akar memperkuat posisi tawar koperasi".
Di
negara berkembang, termasuk Indonesia, transparansi struktural tidak
berjalan seperti yang dialami oleh negara industri di Barat, upah buruh
di
pedesaan secara rill telah naik ketika pengangguran meluas sehingga
terjadi Lompatan ke sektor jasa terutama sektor usaha mikro dan informal
(Oshima, 1982). Oleh karena itu kita memiliki kelompok penyedia jasa
terutama disektor perdagangan seperti warung dan pedagang pasar yang
jumlahnya mencapai lebih dari 6 juta unit dan setiap hari memerlukan
barang dagangan. Potensi sektor ini cukup besar, tetapi belum ada
referensi
dari pengalaman dunia. Koperasi yang berhasil di bidang ritel di
dunia adalah sistem pengadaan dan distribusi barang terutama di
negara-negara berkembang “user” atau anggotanya adalah para pedagang
kecil sehingga
model ini harus dikembangkan sendiri oleh negara berkembang.
Koperasi selain sebagai organisasi ekonomi juga
merupakan organisasi pendidikan dan pada awalnya koperasi maju ditopang
oleh tingkat pendidikan anggota yang memudahkan lahirnya kesadaran dan
tanggung jawab bersama dalam sistem demokrasi dan tumbuhnya kontrol
sosial yang menjadi syarat berlangsungnya pengawasan oleh anggota
koperasi. Oleh karena itu kemajuan koperasi juga didasari oleh tingkat
perkembangan pendidikan dari masyarakat dimana diperlukan koperasi.
Pada saat ini masalah pendidikan bukan lagi hambatan karena rata-rata
pendidikan penduduk dimana telah meningkat. Bahkan teknologi informasi
telah
turut mendidik masyarakat, meskipun juga ada dampak negatifnya.
Syarat 4 : “Pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan SDM)”.
Potret Koperasi
Indonesia
Sampai dengan bulan November 2001, jumlah
koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih,
dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika
dibanding
dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan
sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami
perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif
per-November 2001, sebanyak
96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi
dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di ingat reformasi
yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah
melahirkan
gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui
koperasi.
Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia
yang telah digerakan melalui dukungan kuat program
pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan
tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman tersebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran
ke arah peran swasta
menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha
terutama
KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan
yang terjadi, namun sumbangan terbesar KUD
adalah keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan
(Anne Both, 1990), disamping sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha
karena telah menikmati latihan dengan mengurus dan mengelola KUD
(Revolusi
penggilingan kecil dan wirausahawan pribumi di desa).
Jika melihat posisi koperasi pada hari ini
sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki
tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi
oleh koperasi
kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset
koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait
dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau
sekitar 35%
dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi
dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit
desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian
walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi
pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian
dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar
elemen
untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap
dibukanya
secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan
lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada
basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis
pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi
tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian
koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan
kesulitan
pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi
kearah penyatuan vertical maupun horizontal. Oleh karena itu jenjang
pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong kembalinya pola
spesialisasi
koperasi. Di dunia masih tetap mendasarkan tiga varian jenis
koperasi yaitu konsumen, produsen dan kredit serta akhir-akhir ini
berkembang jasa lainnya.
Struktur
organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga
kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal
ini
telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi
sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen
eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa
datang harus
diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang
dengan globalisasi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu dilakukan bila
penataan mulai diletakkan pada daerah otonom.
Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah
Implementasi undang-undang otonomi
daerah, akan memberikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sumber daya alam dan pelayanan
pembinaan lainnya. Namun koperasi akan semakin menghadapi masalah
yang lebih intensif dengan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi
investasi
dan skala kegiatan koperasi
. Karena azas efisiensi
akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan
yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan advokasi oleh gerakan koperasi
untuk memberikan orientasi kepada pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat
propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi
harus mampu menjalankan fungsi intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan
infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
Peranan
pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten /
Kota sebagai daerah otonom menjadi sangat penting.
Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat
menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan
mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai
studi
menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih
mampu menahan arus kapital keluar, sementara sistem perbankan yang
sentralistik mendorong pengawasan modal dari secara tidak sehat.
Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk menghadapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kredit
bagi koperasi dan usaha
kecil
di daerah. Dengan demikian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi
di daerah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah
Daerah dalam bentuk patungan dengan stockholder yang luas. Hal ini akan dapat mendesentralisasi pengembangan ekonomi rakyat
dan dalam jangka panjang
akan menumbuhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah koperasi
juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.
Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi
yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa
keuangan, pelayanan
infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi
selain peluang untuk memanfaatkan potensi
setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi
keuangan, pengembangan jaringan
informasi
serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi
merupakan kebutuhan pendukung untuk kuatnya kehadiran koperasi. Pemerintah
di daerah dapat mendorong pengembangan lembaga penjamin kredit
di daerah.
Pemusatan
koperasi di bidang jasa keuangan sangat tepat untuk dilakukan pada
tingkat kabupaten/kota atau “kabupaten dan kota”
agar menjaga arus dana menjadi lebih seimbang dan memperhatikan
kepentingan daerah (masyarakat setempat). Fungsi pusat koperasi jasa
keuangan ini selain menjaga likuiditas juga dapat memainkan peran
pengawasan dan
perbaikan manajemen hingga pengembangan sistem asuransi tabungan
yang dapat diintegrasikan dalam sistem asuransi secara nasional.
SUMBER: